JAKARTA, ASPIRASInews – Ketua Presidium Forum Pers Independent Indonesia (FPII) Kasihhati menyatakan pelarangan dalam meliput persidangan secara langsung (live) adalah ‘kudeta terhadap demokrasi’.
Hal itu dikatakannya terkait adanya wacana Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) pasal 253 ayat 3 oleh DPR, yang isinya melarang peliputan langsung sidang pengadilan.
” Saya menyatakan penolakan tegas terhadap pasal ini. Karena sejatinya, ruang sidang adalah ruang publik. Di sana nasib keadilan diuji, di sana pula aparat negara mempertanggungjawabkan kerja penegakan hukum. Lantas mengapa publik tak boleh tahu secara langsung?,” tanyanya pada pers, Kamis (18/04/2025).
Menurut dia, hal itu adalah bentuk nyata kemunduran demokrasi dan kebebasan pers yang tak bisa ditolerir. ” Ini bukan hanya soal teknis peliputan, ini adalah upaya sistematis menutup ruang kontrol sosial terhadap sistem peradilan yang kerap gelap dan timpang,” terangnya.
Dengan kata lain, tambahnya, menutup Sidang, menyuburkan mafia peradilan. ” Kita tahu, mafia peradilan bukan cerita fiktif. Banyak kasus yang tiba-tiba melompat logikanya, saksi yang dibungkam, alat bukti yang menguap dan jaksa yang lupa menuntut maksimal,” tambahnya.
Dia juga menyebutkan bahwa peliputan langsung sidang adalah senjata utama jurnalis untuk membuka borok-borok hukum yang disembunyikan.
” Tapi, dengan adanya pelarangan liputan live, kita sedang membuka jalan lebar bagi praktek gelap itu tumbuh subur di ruang tertutup, tanpa saksi, tanpa kamera, tanpa pertanggungjawaban publik. Kalau ini disahkan, rakyat kehilangan akses ke keadilan yang seharusnya milik mereka,” ungkapnya.
Dia juga menepis hal itu bukan ketidaktahuan, melainkan adalah sikap sadar dari DPR dan pembentuk undang-undang sedang membentengi kekuasaan dari pengawasan publik.
” Mereka tak ingin kasus hukum elite politik dibuka terang-terangan. Mereka tak ingin kegagalan penegak hukum diviralkan. Ini semacam kudeta diam-diam terhadap prinsip keterbukaan dan kontrol sosial yang dijamin konstitusi,” tuturnya.
UU Pers dan Konstitusi dilanggar terang-terangan. Pasal tersebut bertentangan dengan pasal 18 ayat (1) UU Pers No 40/1999 yang melindungi kerja jurnalistik dari tindakan penghalangan peliputan. Selain itu, juga bertabrakan dengan pasal 28F UUD 1945 yang menjamin hak warga negara untuk memperoleh informasi.
” Maka jelas, jika pasal ini disahkan, bukan hanya menciderai pers, tapi juga melanggar konstitusi,” tukasnya.
Yang belum banyak dibahas adalah siapa yang sebenarnya diuntungkan dari pasal itu. Apakah permintaan dari aparat penegak hukum yang tak ingin wajahnya disorot?. Atau apakah ini kehendak elit partai yang khawatir sidangnya dipantau rakyat. Malah justru merupakan skenario untuk membungkam media kritis di tahun-tahun politik ke depan.
Ketua FPII itu menduga adanya ‘persekongkolan sunyi’ antara sebagian elite legislatif dan aparat hukum untuk mengembalikan sistem hukum Indonesia ke era gelap, era tanpa kamera, tanpa catatan, tanpa kontrol.
Namun begitu, dia mengaku akan melakukan perlawanan. ” Kita tidak boleh diam. Karena kalau hari ini jurnalis dilarang meliput, besok rakyat bisa dilarang bicara. Sikap kami tegas, lawan!,” tandasnya.
Berikut pernyataan sikap Forum Pers Independent Indonesia (FPII) :
1. Menuntut penghapusan Pasal 253 ayat 3 RKUHAP yang melarang peliputan langsung sidang,
2. Menyerukan aksi solidaritas Nasional jurnalis dan media untuk menolak pasal ini,
3. Mendesak Presiden dan Mahkamah Konstitusi untuk tidak membiarkan pasal inkonstitusional ini lolos menjadi hukum positif,
4. Menyatakan siap melakukan uji materil ke Mahkamah Konstitusi bila RKUHAP disahkan dalam bentuk sekarang. |Zih





